Senin, 26 Maret 2012

Kesalehan Sosial?

Saya melihat peristiwa yang jarang ditemukan kecuali di sini, di al-ma’rufiyah ini, pondok pesantren yang menurut saya begitu kental kebersamaannya, karena memang tidak ada ruang dan tempat untuk sendiri, kesana ada si itu, di sini ada si ini, di mana-mana ada siapa saja. Tidurpun ya begitu. Selalu di temani sama teman-teman. Kecuali kalau mandi, mohon untuk tidak di temani.
Aku melihat, ada orang yang berniat hendak mengaji al-quranpun sudah terpegang ditangan, tinggal dibacakan. Namun, ternyata di samping nya ada teman yang sedang Facebookan, agar yang facebookan tetap tenang dengan keasyikannya, agar tidak merasa terganggu dengan suara ngajinya, kemudian dia bilang kepada yang sedang fb nan itu : Mz, izinkan saya, saya mau ngaji, boleh ndak?
Ini orang apa bukan, melakukan kebaikan seperti tak krasan apabila orang merasa terganggu. Ini orang apa bukan, mau ngaji kok malah izin. Yang seharusnya izin itu yang ndak ngaji, bukan yang ngaji. Atau kalau mau pulang ke rumah, baru namanya izin. Ini orang apa bukan? ini mungkin adalah proses menjadi orang. aku menikmati peristiwa yang terjadi, dan coba tuk memahami.
Memang ada dilema antara berlaku tawadhu dengan keharusan menyatakan kebenaran, atau antara takabur dengan etika untuk tidak memamerkan kebaikan : “kalau tangan kananmu berbuat baik, tangan kirimu tak usah tahu”. Tangan kiri saja tak usah tau, apalagi telapak kaki, terlebih-lebih lagi orang lain.
Peristiwa di atas sangat jarang banget aku temui, bagus dari satu sudut, tapi dilematis. Sebab dari sudut lain, kalau ia memilih tidak berkata, pilihan ini mungkin akan memberi peluang untuk tidak mengerti apa yang sebenarnya berlangsung. Ketidakmengertian itu pada tingkat tertentu bisa menimbulkan kesalahpahaman, kemudian bisa berkembang menjadi prasangka buruk, dan akhirnya fitnah. Menutupi kebaikan diri bisa bermakna menyembunyikan kebenaran dan merangsang dosa orang lain yang tak memahaminya.
Dalam kasus tertentu, kaum muslimin pernah mengalami situasi psikologis, yakni mereka malu menampilkan tanda-tanda kemuslimannya. Mereka rendah diri. Kalau sholat sembunyi-sembunyi, kalau puasa di usahakan jangan sampai orang tahu bahwa ia puasa, mau ngaji, malah izin.
Maka, tantangannya disitu adalah justru bagaimana orang islam menunjukan keislamannya : ini lho saya pakai sarung dan peci, mau apa kamu! Saya shalat dan jama’ah, Mau apa kamu, saya puasa, mau apa kamu! saya ngaji, mau apa kamu! Saya santri. Mau apa Kamu! Saya lurah. Mau apa kamu! 01.01.2012.

0 komentar:

Posting Komentar