Ucapkan Cinta dan Kangen Kepada Al-Ma’rufiyyah ...
Kepada temen-temen al.ma’rufiyah yang saya hormati, yang saya cintai, yang saya kagumi dan selalu saya banggakan. Bahkan dari hal-hal yang terkecil, yang sepele, yang sungguh setiap saat, waktu berjalan terasa sangat-amat lambat, aku sangat menikmatinya, misalnya saja tentang piring, mangkuk dan gelas.
Piring dan mangkuk ini, tidak hanya sekedar dijadikan sebagai alat untuk makan, tapi untuk merokok pun bisa, alat untuk membuang latu, tidak di asbak, tapi di piring, bahkan menurut kebudayaan yang kita kenal dari zaman baheula, gelas itu adalah alat untuk mempermudah agar engkau bisa minum, agar ngopi menjadi benar-benar ngopi. Tapi di sini tidak, gelas itu gunanya tidak hanya berhenti sampai di situ, gelas itu dinamis elastis.
Piring gelas mangkuk selalu mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan dirinya dengan ruang dan waktu yang berbeda, dari satu ruang menuju ruang lainnya, dan dari satu waktu menuju ke waktu lainnya. Itu semua di sesuaikan berdasarkan apa yang saat itu kita butuhkan.
Kita butuh asbak, tapi ternyata asbak tidak ada, adanya gelas. Maka gelas adalah asbak. kita butuh tempat sampah, tapi ternyata jarak antara aku dan tempat sampah itu jauh. Sedangkan yang dekat dengan kita pada waktu itu adalah mangkuk, simsalabim, buanglah sampah pada tempatnya itu berarti bahwa kita harus membuang sampah ini pada mangkuk.
Saya yakin, seksi kebersihan, kang rojak, atau bu Nur itu tidak akan marah, bahkan sebenarnya beliau itu bukan tipe-tipe orang yang pemarah, beliau itu penuh lembut, apalagi kang rojak, justru ketika melihat peristiwa begitu, ia malah tertawa. tertawa itu membuktikan bahwa beliau bergembira.
Sebab apabila yang ada di dalam piringnya itu adalah nasi, baru beliau bersedih, nasi kok ndak di makan, kasihan nasi, nasi nanti menangis. Untung saja, nasi tidak menangis, karena tidak dimakan santri, dimakan ayam pun jadi.
Hari-hari yang aku lalui bersama kalian, sungguh tanpa adanya kalian, tanpa kehadiran kalian, aku tidak akan pernah tahu siapa aku, misalnya saja ketika aku pulang ke rumah, sebagian jiwaku masih nyangkut di sini, di al-ma’rufiyah ini. Dan itu membuatku seperti kehilangan arah, aku menjadi tidak tahu apa yang harus aku lakukan, hatiku penuh ragu, tapi ternyata kalian selalu meyakinkanku, selalu menuntun kemana arahku, apa yang harus aku perbuat dan aku lakukan.
Terkadang harus ku sembunyikan betapa sepinya aku, betapa kosongnya hatiku, namun ketika engkau tertawa, engkau gembira, engkau senang, engkau riang, hatiku yang kosong, jiwaku yang sepi, luluh lantah seketika menjadi kebahagiaan.
Aku merindukan suara-suara ribut malam hari, aku merindukan dengkuran-dengkuran ketika mengaji, aku merindukan orang-orang tidur bergelatak berteman mimpi-mimpi, acuhkan matahari, bangunnya kemudian siang hari.
Aku merindukan bunyi bel, yang kadang sering sekali bunyinya itu sangat panjang dan lama. Itulah suara musik asli. Karena musik-musik yang ada saat ini, adalah palsu.
Bunyi bel itu adalah musik asli, yang namanya musik asli tidak hanya sekedar mengademkan, tapi juga menggemparkan, menggairahkan, menggugah jiwa, menggugah raga. Kanjeng Nabi saja pas waktu turun wahyu, katanya Beliau mendengar suara bel.
Jadi, suara bel itu adalah ciri bahwa kita akan segera menerima ilham.
25.03.2012
0 komentar:
Posting Komentar