Mendidik Hati Dengan Kopi
Beberapa santri itu mendatangi rumah pak kiai hendak izin. sudah di depan pintu, pintu diketuk, beberapa kali diketuk, tapi rupanya pintu menjadi pintu bukan cuma untuk di ketuk, atau terus-menerus diketuk, melainkan juga dibuka, karena pintu masih ditutup, untung tak di kunci. assalamualaikum, sesaat kemudian terdengar jawaban dari dalam waalaikum salam.
setelah itu pak kiai datang, kemudian kami bersalaman, lalu mengutarakan maksud dan tujuan, tentu saja yang mengucapkan perihal maksud serta tujuan bahwa kami hendak pulang bukanlah saya yang mengatakan, tapi salah seorang dari kami yang mewakili dan mengatakan.
Pertama : sama sekali tidak ada keberanian dalam diri saya untuk bicara dengan pak kiai, berhadapan pun langsung grogi sendiri.
bahkan ketika mulutku hendak mengucapkan, anehnya suara ataupun kata tak keluar, yang keluar bukanlah kata atau suara, melainkan kebisuan.
Ternyata kejadian semacam ini, saya alami bukan hanya sama pak kiai, sama teman-teman yang disisi, disini, pun sama. Ugh... em nur, em nur, betapa kelunya lidahmu.
Yang kami dapatkan dari obrolan ketika pas sowan itu adalah berbicara mengenai ziarah, mengenai hidup, mengenai kehidupan. Ziarah sebagai langkah atau jalan untuk mendidik hati, di tengah-tengah langkah dan jalan yang banyak sekali melupakan hal yang satu ini yaitu hati. kata beliau.
Ketika engkau pergi ziarahan, engkau diingatkan akan kematian, membuat hatimu ingat, dari terjeratnya dunia, tak lupa bahwa dunia adalah jalan untuk menggapai yang sejatinya. Engkau menjadi manusia yang khauf, di tengah zaman yang sama sekali tidak ada khauf-khaufnya.
Ketika tempat ziarahan itu engkau datangi, engkau akan takjub, melihat tamsil atau ibarot : betapa orang yang mati saja, sanggup menghidupi orang yang hidup, lho, yang berjualan di sana itu, adalah orang-orang hidup, bukan orang mati, mereka yang berjualan itu, bukanlah hantu, ia hidup seperti halnya kita hidup, cari makan, cari uang, cari nafkah, cari rizki.
Ya, ziarah ke kuburan itu mendidik hati, daripada ziarahnya bukan ke kuburan, misalnya ziarahan ke bandungan, ke mal-mal, shoping, refreshing, karena sistem syaraf otak selalu konsleting. Bukannya malah mendidik hati, tapi kebanyakan malah meliarkan hati, melampiaskan hati, membuaskan hati. Hati menjadi tidak terdidik, hati menjadi tidak relevan lagi disebut sebagai hati, hati menjadi besi, menjadi baja, hati menjadi batu.
Itu mengenai salah ziarah diantara ziarah-ziarah, misalnya ziarah peradaban, kebudayaan, ziarah poitik, ziarah ilmu.
Dalam hal pembuatan skripsi pun sama, kudu ziarah, Kalau kamu mau membuat skripsi... berarti kamu musti ziarah dulu sama mereka-mereka yang sudah berskripsi, sama pembimbing skripsi, atau kamu datangi ke orang-orang yang bersangkutan.
Ternyata ziarah adalah hidup itu sendiri, tentang bagaimana caranya membuat kopi, ada air panasnya, gelasnya, kompornya, jangan lupa pula rokoknya, metodologi, referensi, dll.
Mari mendidik hati, meskipun hanya dengan Kopi.
19.01.2012
0 komentar:
Posting Komentar