Mbah tri adalah sosok santri yang ramah, sopan, sedep dipandang, senyumnya bikin hachi, suaranya lembut bagai kan seruling, lakunya indah seindah taman bunga dan apa yang dilakukannya pun berwibawa, meskipun hanya dengan melihat dan kemudian tersenyum, ada tambahan lagi, orangnya juga lucu. Semoga beliau dirahmati Allah. Subur makmur dalam kubur. Amien.
Suatu pagi beliau pernah berkata bahwa yang paling membuatku gembira adalah melihat santri putra pada berceria menyambut hari paginya.
Aku mencoba untuk memahami apa yang beliau rasakan, yang berarti bahwa hal yang membuat beliau tidak bahagia adalah kebalikannya yaitu ketika tidak ada satu santripun yang bangun.
Akan tetapi untuk masalah realita yang ada di depan mata, terkadang musti menafikan keinginan-keinginan bahwa tidak setiap santri semuanya bangun pagi, dan begitu juga sebaliknya tidak ada santri yang semuanya tidak bangun pagi.
Selalu ada yang sudah bangun dan ada pula yang belum bangun. Yang sudah bangun mencoba untuk membangunkan yang belum bangun, yang belum bangun pun ada niat dan usaha untuk bangun. Tidak setiap pagi kita bangun pagi, dan tidak setiap pagi pula kita tidak bangun pagi.
Ini adalah sebuah dialektika budaya yang suatu saat nanti akan menjadi kenangan, min sebagai refleksi untuk lebih sanggup memahami, apa yang sebenarnya kita inginkan, bagaimana memperlakukan matahari, embun, air, udara pagi, dan lain sebagainya, untuk masuk kedalam kehidupan nyata.
Dalam kenyataan yang penting adalah sikap, untuk selalu berendah hati dalam hal apapun.
Bahkan kepada rokok pun aku selalu berusaha untuk berendah hati, ketika aku sedang merokok, bukanlah aku yang sedang menghisap rokok, melainkan rokoklah yang sedang menghisap aku.
0 komentar:
Posting Komentar