Senin, 26 Maret 2012

Kita Bukan Mbah-Mbah

 Warga al-ma’rufiyah mengerjakan sholat berjama’ah. Setiap setelah selesai sholat, ada yang kemudian langsung minggat, bukan berarti enggan dan tak mau mengikuti dzikiran setelah sholat, melainkan untuk lebih menemukan kembali kekhusyu’an yang sebenarnya, demi terciptanya ketenangan kedamaian serta apapun saja kehangatan yang benar-benar terjadi dan dapat dirasakan langsung, dan ini bukan hanya sekedar dzikir, melainkan wirid.
Selain santri, ada orang-orang yang selalu rajin mengikuti sholat berjama’ah, sungguh aku sendiri sangat jauh dari orang itu, tak pernah ngobrol, tak pernah ngopi bareng, merokok bareng, tapi aku merasakan kedekatan yang berbeda, yakni kedekatan yang tidak dekat, kedekatanku adalah takjub.
Sebab rajinku yang apabila dibandingkan dengan mereka, seperti membandingkan semut dengan gajah. Tidak ada apa-apanya, dan belum seberapa. Rajinku bukanlah rajin, justru rajinku itu malah semakin menjelaskan betapa aku ini sungguh pemalas.  
Inilah yang pertama kali coba aku tulis mengenai al-ma’rufiyah, yaitu tentang seorang kakek-kakek yang tingkatannya sudah kita sebut sebagai mbah, beliau selalu rajin mengikuti sholat berjama’ah.
Kita mengakui, kita kalah rajinnya ketimbang mbah-mbah itu. Pertama : karena kita bukan mbah-mbah. Kedua : karena kita masih selalu mbuh-mbuh. Padahal, berjama’ah itu adalah min ba’di kunci barkah. Yang penting itu jama’ahnya dulu. Kumpulnya dulu. Ngaji, istiqomah, khidmah, bisa kita gali bersama setelah mempunyai komitmen berjama’ah.
Dan yang namanya komitmen bukan hasil dari paksaan, dari kekerasan, melainkan dari sebuah ketulusan, satunya hati dan pandangan, lahir dari nurani sendiri, kesadaran diri, kepekaan bathin, sebagai tameng dari keterjeratan kita, dari himpitan perkuliahan yang kadang membuat kita kecewa, karena selalu dapat nilai ‘E’.

0 komentar:

Posting Komentar